Sepanjang sejarah kedokteran, para dokter dan ilmuwan telah tergugah semangatnya dengan adanya daya tarik obat dalam hal adanya sejumlah kecil substansi yang dapat menyebabkan perubahan radikal dalam perilaku dan kesehatan manusia. Konsep reseptor dimunculkan sepanjang sejarah ini. Di awal tahun 1865, Robert Boyle mengemukakan bahwa berbagai bagian dalam tubuh memiliki tekstur yang berbeda, begitu berbagai substansi yang terikat.
Konsep reseptor dirintis oleh dua pakar fisiologi, John Newport Langley dan Paul Ehrlich. Fokus kajian bebas mereka adalah konsep ketergantungan aksi fisiologik pada struktur kimia. Semasa mahasiswa di Cambridge pada tahun 1874, Langley menerangkan antagonisme pilokarpin oleh atropin. Dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1878, ia memberi gambaran tentang konsep reseptor sebagai berikut : “ ........ ada zat pada ujung saraf atau sel kelenjar yang dapat ditempati oleh pilokarpin maupun atropin yang dapat menghasilkan senyawa.”
Pada tahun yang sama, Paul Ehrlich lulus dari University of Leipzig, dan dalam tesisnya tentang pewarnaan histologik, ia mengemukakan bahwa pewarnaan itu merupakan hasil dari interaksi kimiawi antara dua senyawa. Pekerjaan selanjutnya tentang imunisasi membahas “rantai samping penerima (receptive side chain)”. Setelah membaca tulisan Emil Fischer yang menyusun teori aksi enzim, Ehrlich mengemukakan bahwa rantai samping ini berinteraksi dengan toksin sebagai kunci dan anak kunci. Ide ini menuntunnya kepada pekerjaan selanjutnya dalam bidang kemoterapi.
Adalah seorang mahasiswa di Cambridge University, A.J.Clark, yang pertama kali menerapkan prinsip matematika pada teori reseptor obat. Ia mengkaji efek asetilkolin pada berbagai jaringan terpisah dan mencatat bahwa hubungan antara konsentrasi obat dan respon berkaitan erat dengan persamaan :

Di mana x adalah konsentrasi obat dan y adalah persentase dari respon maksimal terhadap obat. Penyusunan ulang dari persamaan (1) menghasilkan bentuk persamaan isoterm adsorbsi Langmuir :

Clark menerbitkan suatu risalah pada tahun 1937 yang merangkum dan mengembangkan teori tentang interaksi obat – reseptor. Masalah utama pada saat itu adalah kurangnya pengetahuan tentang hubungan antara pendudukan reseptor dan respon jaringan. Oleh karena itu, asumsi yang paling sederhana yang dibuat oleh Clark dalam risalah itu adalah :
· Respon maksimum terhadap suatu obat (Em) adalah respon maksimum jaringan
· Respon jaringan fraksional (EA/Em) berbanding langsung dengan pendudukan reseptor fraksional (

Dalam hal ini, persamaan berikut menggambarkan respon obat A dalam jaringan, sebagaimana dijelaskan oleh Clark :

Di mana KA adalah tetapan disosiasi kesetimbangan kompleks obat-reseptor. Clark mengakui bahwa hubungan antara pendudukan reseptor oleh suatu obat dan menghasilkan respon tidaklah linier pada kebanyakan kasus, dan efek obat, sebagaimana digambarkan pada persamaan (3), terbatas.
Dampak dari gagasan Langlay dan Ehrlich, bahkan Clark, terbatas pada masa hidup mereka karena mereka melibatkan konsep molekular dalam teknologi yang tidak dapat mengujinya secara eksperimental. Ini diganti dengan konsep bioassay. Meskipun berbagai disiplin ilmu mendukung konsep reseptor spesifik untuk zat kimia dalam sistem biologik, namun melalui metode bioassay, ditemukan data kritis untuk penyusunan teori reseptor. Bioassay, pengukuran kuantitatif efek obat dalam sistem biologik utuh, dirintis oleh ahli farmakologi yang hebat, Sir John Gaddum, Sir Henry Dale, dan Harold Burn.
Prasyarat pertama dari bioassay adalah sistem pengukuran harus stabil. Keberadaan seni dalam farmakologi selama paruh pertama abad keduapuluh terdiri dari sejumlah besar pengetahuan anekdot dan pakar kreatif dalam mempertahankan sediaan biologis selama angka waktu perubahan keadaan jaringan diukur dengan pemberian obat. Peralatan utama dalam farmakologi kuantitatif adalah jaringan terpisah. Organ ditempatkan dalam suatu wadah yang dipanasi dan diinkubasi dengan larutan garam fisiologis, disimpan dalam pH fisiologis, dan diperfusi dengan oksigen sedemikian rupa sehingga keadaannya seperti dalam organisme utuh. Perbedaannya adalah bahwa volume yang memperfusi sediaan diketahui (demikian pula reseptor), dan konsentrasi obat pada reseptor juga diketahui.

Gambar 1. Diagram sistem jaringan terpisah. Jaringan dipanasi dalam cairan fisiologis panas yang mengandung nutrien dan oksigen pada pH yang ditentukan. Kontraksi dan relaksasi jaringan terekam melalui pena yang terpasang pada tuas, yang bila berganti akan menimbulkan rekaman pada kimograf.
Gambaran sistem jaringan terpisah terlihat pada gambar 1. Jaringan ditempatkan dalam tangas organ, dan fungsi organ (yakni kontraksi) direkam dalam kimograf. Bila jaringan berkontraksi, baik spontan maupun dalam respon terhadap obat, tuas tertarik ke atas dan rekaman perubahan tergores pada film. Bioassay memungkinkan para ahli farmakologi untuk mengkaji efek perubahan struktur kimia dari aktivitas biologis. Hal ini mengakibatkan rekonstruksi teori reseptor mengakomodasi perilaku obat pada reseptor. Dengan kuantifikasi efek obat dengan bioassay, para farmakolog memulai suatu dialog dengan pakar kimia medisinal untuk mengembangkan aktivitas dari substansi aktif biologis yang diketahui, dan ilmu tentang penemuan obat pun lahir. Pada gambar 2 terlihat awal dari hubungan struktur aktivitas untuk seri katekolamin pada relaksasi otot trakea selama penggunaan dalam terapi asma.

Gambar 2. Hubungan struktur aktivitas untuk seri katekolamin yang menghasilkan relaksasi terpisah dari tikus. Terlihat bahwa substituen R yang berbeda pada gugus amino menghasilkan peningkatan bronkodilatasi
Pada saat itu, keadaan dirancang untuk menyelidiki interaksi obat dan reseptor secara lebih mendalam. Pengukuran respon obat yang relatif akurat dapat dilakukan dan hasilnya dibandingkan dengan teori yang dirancang oleh Clark. Hasil pertama dalam penelitian ini adalah asumsi bahwa respon jaringan berbanding lurus dengan konsentrasi obat. Hal ini berhubungan dengan faktor yang diperkenalkan oleh E.J.Ariens. Tetapan ini digunakan untuk menjawab fakta bahwa sebagian agonis menghasilkan respon maksimum yang lebih kecil daripada respon maksimum terhadap agonis lain. Ia menyebut tetapan pembanding ini sebagai aktivitas intrinsik (disimbol α); penyisipan faktor ini memberikan efek obat sebagai :

Skala untuk α adalah 1 untuk agonis penuh, dan 0 untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon jaringan langsung. Nilai α = 0,4 berarti bahwa agonis mampu menghasilkan 40% dari respon maksimum jaringan (agonis parsial). Meskipun hal ini merupakan rintisan jalan untuk membuat model efek obat yang lebih berhubungan erat dengan hasil eksperimen, namun masih belum ada bukti pengamatan bagaimana agonis menghasilkan respon maksimum pada nilai pendudukan reseptor yang relatif lebih rendah. Seorang farmakolog Inggris, R.P.Stephenson mengajukan konsep teoretik yang lain. Ia memperkenalkan istilah stimulus dan mengemukakan bahwa obat menghasilkan stimulus sesuai dengan persamaan berikut :

Di mana e adalah tetapan pembanding yang disebut efficacy. Kekuatan dari pendekatan ini adalah bahwa repon jaringan, yakni parameter yang diamati secara eksperimental, dianggap sebagai fungsi monotonik dari stimulus :

Fungsi monotonik diberi nama hubungan stimulus-respon. Ini merupakan peningkatan yang sangat penting dalam farmakologi reseptor karena memungkinkan peristiwa-peristiwa reseptor (aktivasi reseptor) dipisahkan dari kejadian jaringan dengan aktivitas fisiologik. Pada gilirannya, hal ini memungkinkan obat reseptor dan sifat-sifat reseptor diisolasi dari sistem biologik serta dapat dibuat pernyataan yang mengunggulkan jaringan tempat diperolehnya data. Pemisahan ikatan obat pada populasi reeptor dan respon fisiologik yang dihasilkan memungkinkan sejumlah besar perkembangan dalam teori reseptor.
MODEL MATEMATIKA DARI SISTEM RESEPTOR
Berbagai pengetahuan tentang perilaku sistem kompleks dapat diperoleh melalui model matematika. Berbagai tema umum dapat digunakan untuk sistem sederhana maupun sistem yang kompleks. Sebagai contoh, model kompleks terner sederhana untuk reseptor 7TM dapat ditunjukkan sebagai


Langkah pertama adalah menurunkan pernyataan untuk tetapan kesetimbangan. Hal ini biasanya dilakukan untuk tetapan asosiasi yang didefinisikan sebagai berikut :


Untuk sistem ini konsentrasi total reseptor (





Dari persamaan


![clip_image030[1] clip_image030[1]](http://lh3.ggpht.com/-uEWfWOtARYQ/T46ioB8kbPI/AAAAAAAABEM/hopxxYK5F18/clip_image030%25255B1%25255D_thumb.gif?imgmax=800)
![clip_image034[1] clip_image034[1]](http://lh4.ggpht.com/-o2ZVwzetpE8/T46isqB3xkI/AAAAAAAABEc/kbbihyTtx78/clip_image034%25255B1%25255D_thumb.gif?imgmax=800)
![clip_image032[1] clip_image032[1]](http://lh6.ggpht.com/-XRhegFtrEuk/T46iwFSbcjI/AAAAAAAABEs/1-57Z2DLcZc/clip_image032%25255B1%25255D_thumb.gif?imgmax=800)


Dengan mensubstitusikan
![clip_image030[2] clip_image030[2]](http://lh6.ggpht.com/-chkEa5PTjvA/T46i2aTKk0I/AAAAAAAABFc/ak4CeXtbjj8/clip_image030%25255B2%25255D_thumb.gif?imgmax=800)
![clip_image034[2] clip_image034[2]](http://lh6.ggpht.com/-XiMA_H1ZaIo/T46i4LezNGI/AAAAAAAABFs/LsuFW6t1n2w/clip_image034%25255B2%25255D_thumb.gif?imgmax=800)

Ini menjadikan rasio kompleks terner yang dihasilkan oleh obat terhadap konsentrasi total reseptor (


Dalam hal ini sangat bagus jika menyatakan persamaan dalam konstanta disosiasi selain daripada konstanta asosiasi. Parameter asosiasi (
![clip_image038[1] clip_image038[1]](http://lh6.ggpht.com/-FqYLPqWp3Us/T46jACo3G3I/AAAAAAAABGs/hM9xs0wfYIM/clip_image038%25255B1%25255D_thumb.gif?imgmax=800)
![clip_image040[1] clip_image040[1]](http://lh3.ggpht.com/-av9bpN6NSww/T46jB9vFI_I/AAAAAAAABG8/TLq6UlpqeZw/clip_image040%25255B1%25255D_thumb.gif?imgmax=800)

![clip_image034[3] clip_image034[3]](http://lh3.ggpht.com/-rsbjhYqEVRk/T46jF0BJZBI/AAAAAAAABHc/tLA-BCXsgh8/clip_image034%25255B3%25255D_thumb.gif?imgmax=800)



Namun demikian, begitu persamaan terbentuk dalam pernyataan menggunakan konsentrasi obat, maka akan lebih bermakna jika mengubah kontanta kesetimbangan menjadi kebalikan dari konstanta asosiasi (sehingga menjadi konstanta kesetimbangan untuk kompleks reseptor-obat), karena ini mengandung satuan konsentrasi dan dapat langsung disamakan dengan konsentrasi obat yang digunakan dalam persamaan tersebut. Sebagai contoh, kebalikan dari kontanta asosiasi menyatakan konsentrasi obat yang setengah maksimum menjenuhkan proses. Dengan ini




Pada gambar 3 berikut ini diperlihatkan produksi kompleks terner
![clip_image032[2] clip_image032[2]](http://lh5.ggpht.com/-lX3XkTWminY/T46jU1HPklI/AAAAAAAABJc/nf55Nb5kl6s/clip_image032%25255B2%25255D_thumb.gif?imgmax=800)
![clip_image034[4] clip_image034[4]](http://lh4.ggpht.com/-5CEX7O9UDvU/T46jWsVnlCI/AAAAAAAABJs/WFOaiWVw0cs/clip_image034%25255B4%25255D_thumb.gif?imgmax=800)



Gambar 3. A. Kurva dosis-respon yang dihitung menurut persamaan (8) untuk aktivasi reseptor oleh suatu agonis dengan berbagai konsentrasi protein-G. Reseptor, agonis, dan protein-G membentuk suatu kompleks terner. B. Efek dari sejumlah protein-G terhadap afinitas agonis yang teramati dalam sistem. Bila rasio protein-G terhadap reseptor meningkat, demikian pula potensi agonis yang teramati.
Pustaka: (Kenakin, T.1997. Molecular Pharmacology. Blackwell Science, pp. 43 – 62)
0 comments:
Posting Komentar
Mohon Berkomentarlah dengan Baik dan Sopan, tanpa harus memasang link hidup. Trims